Oleh: Jauhari, S.Ag., MEI
Metroliputan7.com.–
Dibutuhkan waktu sekitar 3,5 jam perjalanan dari tenda Mina menuju jemarat dan kembali lagi ke tenda. Capek, melelahkan, bahkan indah adalah perbedaan rasa yang dialami oleh para jemaah. Dirasakan capek, memang manusiawi, karena perjalanan yang menempuh sekitar 8 KM pulang pergi dirasakan sangat memenatkan. Dirasakan melelahkan juga wajar karena setiap jemaah memiliki kemampuan fisik yang berbeda satu sama lain.
Begitu pula dirasakan indah dan menyenangkan bagi sebagian jemaah yang lain lagi melampaui rasa capek dan melelahkan yang umumnya dialami oleh para jemaah yang lain. Indah dan menyenangkan_ adalah satu kosakata yang dalam konteks ritual ibadah haji bersinggungan dengan rasa keimanan seorang hamba, bersinggungan dengan kesadaran hati tentang penghambaan seorang hamba kepada Sang Pencipta, Allah SWT.
Begitulah, ketika capek dan lelah terkadang sangat dirasa menyiksa, di waktu yang bersamaan rasa indah dan menyenangkan pun muncul. Itu terjadi karena perbedaan keterpanggilan keimanan dan lezatnya cinta kepada Allah dan taqwa kepada-Nya mengubur jauh-jauh derita dan kelelahan fisik yang mereka jalani.
Karenanya، tidak banyak jamaah yang menemukan keindahan napak tilas berjalan kaki menuju jamarat dan begitu pula tidak semua jemaah mendapat predikat haji mabrur. Semua itu diakibatkan perbedaan kualitas keimanan para jamaah. Perbedaan² ini betul-betul menjadi pembeda keterpanggilan untuk menyempurnakan ibadah haji yang satu ini.
Walhasil, terdapat beberapa pesan yang perlu kita maknai dalam kehidupan nyata sehari hari seorang hamba yang telah menunaikan ibadah haji. Di sisi lain, terjadi perbedaan yang signifikan antara ritual umroh dan ritual ibadah haji, sehingga ketika seorang muslim yang melaksanakan umroh ke baitullah, kemudian dia menyematkan predikat haji di depan namanya, sebetulnya dia belum sampai pada hakekat perjalanan ibadah umroh yang sebenarnya. Maka sebagian orang terutama yang sudah melaksanakan ibadah haji menjadi iri dengan orang-orang yang telah melaksanakan ibadah umroh kemudian menyematkan panggilan haji di depan namanya.
Iri karena darita demi derita, kelelahan demi kelelahan belum seberapa dirasakan oleh jamaah umroh sebagaimana yang dialami oleh jemaah haji. Maka, sungguh sesuatu yang jauh dari pesan agama ketika seorang jemaah haji pulang ke tanah air, sementara tabiat, pikiran, akhlaq dan tindakan-tindakan kesehariannya tidak mencerminkan manisnya iman yang mereka jalani sepanjang pelaksanaan rukun haji.
Juga menjadi pantas apabila Rasulullah mengatakan tidak ada balasan bagi seorang yang berhaji dan mabrur kecuali surga-Nya Allah SWT. Oleh karena itu rentetan-rentetan perjalanan rukun haji menjadi sangat sakral untuk diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, di tanah air. Ia menjadi tolak ukur keshalihan seorang hamba di mata Tuhannya, tidak sekedar tuntutan untuk dipanggil Pak Haji dan ibu Hajjah Wallahu alam_
Senin,17 Juni 2024.
Buya Dr. Mohamad Djasuli,(Pengasuh PPM Tebu Falah Telang Kamal)