Oleh: Eva Nur Hamidah
Bangkalan,Metroliputan7.com.–
Rabi’ah Al-Adawiyah, merupakan seorang sufi wanita yang hidup pada abad ke-8, beliau dikenal sebagai pelopor dalam mengekspresikan cinta kepada Allah secara mendalam dan penuh kesucian. Konsep cinta yang diperkenalkan oleh Rabi’ah dikenal dengan istilah “cinta Ilahi” (mahabbah ilahiyah). Dalam pandangannya, cinta kepada Allah haruslah murni, tanpa pamrih dan tidak terikat oleh keinginan untuk mendapatkan surga atau takut kepada neraka.
Muhasabah dalam Cinta
Dalam perjalanan spiritualnya, Rabi’ah selalu melakukan muhasabah atau introspeksi terhadap diri dan hubungannya dengan Allah. Baginya, muhasabah adalah kunci untuk menjaga kemurnian cinta kepada Allah. Melalui muhasabah, seseorang dapat menilai apakah cintanya kepada Allah benar-benar murni atau masih terkontaminasi oleh keinginan pribadi. Rabi’ah mengajarkan bahwa manusia harus senantiasa memeriksa hatinya, apakah ia mencintai Allah karena diri-Nya atau karena manfaat yang diharapkan dari-Nya. Cinta yang murni adalah cinta yang tidak mengharapkan apa-apa kecuali kedekatan dengan Allah. Dalam setiap detik kehidupan, Rabi’ah merenungkan keagungan Allah dan menempatkan-Nya sebagai pusat seluruh cintanya.
Cinta Tanpa Pamrih
Salah satu ajaran terpenting dari Rabi’ah adalah bagaimana cinta kepada Allah harus datang tanpa syarat. Rabi’ah menolak gagasan mencintai Allah karena menginginkan pahala atau surga, juga tidak karena takut akan hukuman neraka. Baginya, cinta seperti itu masih terikat oleh hasrat pribadi. Dalam salah satu doanya yang terkenal, Rabi’ah berkata: “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, jauhkanlah surga dariku. Tetapi jika aku menyembah-Mu semata-mata karena cinta kepada-Mu, jangan tutup pintu rahmat-Mu dariku.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa cinta Rabi’ah kepada Allah adalah cinta yang bersih dari keinginan duniawi dan ukhrawi. Ia mencintai Allah semata-mata karena Dia adalah Allah, Zat yang Maha Agung dan Maha Pengasih.
Cinta yang Mengatasi Segala Nafsu
Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah kepada Allah bukanlah cinta biasa, melainkan cinta yang melampaui segala bentuk nafsu dan keinginan duniawi. Dalam pandangannya, setiap bentuk cinta yang terikat oleh keinginan atau nafsu tidaklah murni. Ia melihat bahwa banyak manusia mencintai Allah karena adanya ketakutan atau harapan akan balasan yang dijanjikan-Nya, namun hal tersebut belum mencapai puncak cinta sejati. Rabi’ah tidak hanya meninggalkan keinginan duniawi seperti harta, kekuasaan, atau kemewahan, tetapi juga meninggalkan keinginan ukhrawi seperti surga dan kenikmatan akhirat. Baginya, mencintai Allah haruslah semata-mata karena Allah layak dicintai. Allah sebagai satu-satunya Zat yang sempurna dan maha segalanya, yang tidak memerlukan alasan untuk dicintai. Cinta yang diberikan kepada Allah adalah cinta yang tulus, yang tidak menuntut apa-apa selain kedekatan dengan-Nya.
Cinta sebagai Pembersihan Jiwa
Dalam ajaran Rabi’ah, cinta kepada Allah juga merupakan sarana untuk membersihkan jiwa dari segala bentuk kekotoran spiritual. Ketika seseorang mencintai Allah dengan sepenuh hati, ia secara otomatis membersihkan diri dari ego, nafsu, dan keinginan-keinginan duniawi. Cinta tersebut mendorong seseorang untuk selalu berbuat baik, tidak karena ingin dilihat oleh manusia atau mengharapkan imbalan dari Allah, melainkan semata-mata karena cinta itu sendiri. Cinta yang murni adalah cinta yang melahirkan keikhlasan. Ikhlas, dalam pandangan Rabi’ah, berarti melakukan segala sesuatu tanpa pamrih, hanya demi Allah. Ketika seseorang mencintai Allah, seluruh tindakan dan ibadahnya dilakukan dengan niat yang bersih dan suci. Ia tidak lagi mempedulikan pujian manusia, bahkan tidak mengharapkan pahala di akhirat. Semua yang dilakukan hanyalah untuk mencari ridha Allah.
Cinta yang Menghantarkan pada Ma’rifatullah
Cinta Rabi’ah pada akhirnya menghantarkannya pada tingkat ma’rifatullah, yaitu pengetahuan langsung tentang Allah. Cinta yang mendalam dan murni membuka pintu-pintu hikmah dan pemahaman spiritual yang tinggi. Melalui cinta, Rabi’ah tidak hanya mengenal Allah secara lahiriah, tetapi juga merasakan kehadiran-Nya di setiap aspek kehidupannya. Ma’rifatullah adalah puncak perjalanan spiritual seorang sufi, di mana ia merasakan kehadiran Allah dalam setiap denyut nadinya, setiap nafasnya, dan setiap detik kehidupannya. Pada titik ini, segala sesuatu di dunia menjadi tidak penting lagi. Yang ada hanyalah Allah dan cinta yang meliputi segala-galanya. Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta kepada Allah adalah jalan menuju kesadaran akan keberadaan-Nya yang hakiki. Cinta ini tidak hanya membawa kebahagiaan di dunia, tetapi juga memberikan pencerahan spiritual yang mendalam. Ia telah mencapai puncak cinta sejati, yang tidak lagi dipengaruhi oleh hal-hal duniawi atau ukhrawi.
Kebebasan dari Rasa Takut dan Harapan
Salah satu karakteristik utama dari cinta Rabi’ah adalah kebebasannya dari rasa takut dan harapan. Ia telah membebaskan dirinya dari ketakutan akan neraka atau harapan akan surga. Bagi Rabi’ah, mencintai Allah harus melebihi rasa takut dan harapan tersebut, sebab cinta yang terikat oleh keduanya masih bersifat egois. Kebebasan ini memberikan Rabi’ah kekuatan spiritual yang luar biasa. Dia mencintai Allah dengan sepenuh hati, tanpa ada sedikit pun keinginan pribadi yang tersisa. Baginya, Allah adalah tujuan akhir dari segala eksistensi. Ia memandang bahwa mencintai Allah dengan cara seperti itu membawa kedamaian batin yang tak terhingga, karena tak ada lagi kekhawatiran atau kecemasan tentang masa depan, baik di dunia maupun di akhirat.
Pesan Cinta Rabi’ah untuk Zaman Sekarang
Ajaran cinta Rabi’ah masih relevan hingga kini. Di tengah kehidupan yang seringkali dipenuhi oleh ambisi dan keinginan materialistis, muhasabah cinta kepada Allah mengingatkan kita untuk kembali kepada kesederhanaan dan keikhlasan dalam beribadah. Rabi’ah menekankan pentingnya menundukkan ego dan hasrat, serta mendedikasikan diri sepenuhnya kepada Allah tanpa berharap imbalan. Muhasabah cinta ala Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta kepada Allah bukanlah tentang transaksi, melainkan tentang ketulusan. Semakin kita mampu mencintai Allah dengan cara yang murni, semakin kita dekat dengan-Nya. Inilah puncak dari cinta Ilahi yang diajarkan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah. Dengan mengikuti jejak cinta Rabi’ah, kita diajak untuk merenung dan bertanya kepada diri sendiri: Apakah kita benar-benar mencintai Allah dengan tulus, ataukah cinta kita masih terikat oleh kepentingan pribadi? Melalui muhasabah cinta, kita dapat memperbaiki hubungan kita dengan Allah, membersihkan niat kita, dan berusaha untuk mencintai-Nya dengan cara yang paling murni. Cinta yang demikian akan mengantarkan kita pada kebahagiaan yang sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Sabtu, 21 September 2024.
Buya Dr. Mohamad Djasuli,(Pengasuh PPM Tebu Falah Telang Kamal)