MEDAN — Metroliputan7.com.- Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan jika Demokrasi Pancasila paling ideal untuk sistem demokrasi Indonesia.
Menurut LaNyalla, Pancasila sangat tepat untuk Indonesia yang dikenal sebagai bangsa super majemuk, dengan ratusan pulau yang terpisah-pisah oleh lautan dan ada 512 suku yang tersebar di pulau-pulau tersebut.
Hal itu disampaikan LaNyalla saat memberi Kuliah Umum kepada Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Rabu (24/8/2022).
Tema yang diambil adalah “Rekonstruksi Terhadap Kewenangan Istimewa Lembaga Legislatif di Indonesia
Melalui Amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
“Melihat keberagaman manusia dan geografi wilayah kita, founding fathers atau para pendiri bangsa memilih Sistem Demokrasi Pancasila. Sistem ini yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari unsur perwakilan dan unsur penjelmaan rakyat,” kata LaNyalla.
Ciri utama dan yang mutlak harus ada dalam Sistem Demokrasi Pancasila, lanjutnya, adalah semua elemen bangsa yang berbeda-beda, yang terpisah-pisah, terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Sehingga terjadi perwakilan rakyat dan penjelmaan rakyat.
“Siapakah semua elemen bangsa yang harus berada di Lembaga Tertinggi Negara yang merupakan perwakilan dan penjelmaan dari Kedaulatan Rakyat tersebut,” tanya LaNyalla.
Pertama, harus ada Anggota DPR yang merupakan representasi dari Partai Politik. Kedua, menurut LaNyalla, harus ada Utusan Daerah yang merupakan representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote.
“Mereka adalah wakil-wakil dari daerah; meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural, atau daerah khusus dan sebagainya,” tutur Senator asal Jawa Timur itu.
Ketiga, harus ada Utusan Golongan yang merupakan representasi etnis tertentu sebagai unsur kebhinekaan, badan-badan kolektif, koperasi, petani, nelayan, veteran, para raja dan sultan Nusantara, ulama dan rohaniawan, cendekiawan, profesional, guru, seniman dan budayawan, maha putra bangsa, penyandang cacat dan seterusnya. Termasuk di dalamnya TNI dan Polri.
“Dengan demikian utuhlah demokrasi kita, semuanya terwadahi. Sehingga menjadi demokrasi yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan. Itulah konsep Demokrasi Pancasila yang tertuang dalam Konstitusi Asli Indonesia yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945,” tegasnya.
Perwakilan rakyat dari berbagai elemen itu kemudian bersama-sama menyusun arah perjalanan bangsa melalui GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris atau petugas yang diberi mandat. Sehingga Presiden adalah petugas rakyat dan bukan petugas partai.
“Karena rakyatlah yang menentukan cara bagaimana mereka sebagai pemilik kedaulatan harus diperintah oleh pemerintah yang dibentuk oleh rakyat itu sendiri,” tuturnya.
Ditambahkan oleh LaNyalla, pada hakikatnya kedaulatan rakyat itu adalah ‘Supreme’ atau ‘Yang Tertinggi’. Makanya perwakilan dan penjelmaan seluruh elemen rakyat terwujud tanpa ada yang ditinggalkan dan berada di Lembaga Tertinggi di negara ini.
“Itulah Sistem Demokrasi asli yang sesuai dengan DNA bangsa ini. Sistem yang tertulis di dalam Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, dengan struktur urutan: Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari Bab serta Pasal, dan Penjelasan,” ungkapnya.
“Pembukaan UUD sebagai Staats fundamental norm atau norma hukum tertinggi yang juga menempatkan cita-cita dan tujuan nasional serta Pancasila sebagai grondslag. Sedangkan Pasal-Pasal di dalam UUD 1945, adalah penjabaran atau derifatif yang koheren dengan basis filosofi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,” imbuh dia.
Tetapi pada tahun 1999 hingga 2002 dilakukan perubahan atas UUD 1945 sebanyak 4 tahap. Menurut Ketua Umum PB Muaythai Indonesia itu, UUD hasil amandemen menghapus total Penjelasan, dan mengganti 95 persen isi pasal-pasalnya.
“Sistem Demokrasi yang dirumuskan para pendiri bangsa juga diubah menjadi sistem demokrasi barat yang memberikan kekuasaan kepada Partai Politik dan Presiden-Wakil Presiden yang dipilih langsung,” katanya.
Oleh karena itu, LaNyalla mengajak semua elemen bangsa untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian disempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staats fundamental norm.
“UUD 1945 dengan naskah asli pernah dipraktekkan oleh Orde Lama dan Orde Baru. Kedua rezim pernah melakukan praktek penyimpangan dari nilai UUD 1945. Karena itulah selalu saya katakan, bahwa gerakan kembali ke naskah asli UUD 1945 harus diikuti dengan penyempurnaan beberapa kelemahan yang ada melalui adendum. Bukan penggantian Konstitusi baru yang justru meninggalkan Pancasila dan meniru copy demokrasi Liberal negara-negara Barat,” tukasnya.
Dalam acara tersebut, LaNyalla didampingi Senator asal Sumatera Utara, Dedi Iskandar Batubara, M. Nuh, Faisal Amri dan Senator asal Aceh Fachrul Razi. Selain itu hadir juga Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Kabiro Setpim DPD RI, Sanherif Hutagaol.
Sementara dari tuan rumah, hadir Rektor USU, Dr. Muryanto Amir, Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar, Ketua Ikatan Alumni FH USU, Hasrul Benny Harahap, Gubernur, PEMA FH USU, M Husni Baihaqi dan ratusan mahasiwa dan mahasiswi USU.