Scroll untuk baca artikel
Berita

Bongkar Dugaan Kejanggalan: Hanya Tiga Diadili, Pembeli dan Dokumen Palsu Luput dari Jerat Hukum

823
×

Bongkar Dugaan Kejanggalan: Hanya Tiga Diadili, Pembeli dan Dokumen Palsu Luput dari Jerat Hukum

Share this article

Sidoarjo – Metroliputan7.com.–

Penanganan kasus pencurian Kabel Tanam Tanah Langsung (KTTL) atau kabel primer milik PT. Telkom Indonesia oleh Satreskrim Polresta Sidoarjo mulai menuai sorotan tajam. Dari belasan orang yang terlibat dalam kejahatan ini, hanya tiga terdakwa yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo.

Aksi pencurian itu terjadi pada Selasa malam, 14 Mei 2024 di Desa Keper, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo. Terdakwa I Zeth Bara, diduga sebagai dalang aksi ini. Ia menghubungi terdakwa II, Hendy Priyatama seorang pengawas lapangan PT Graha Sarana Duta, anak perusahaan Telkom untuk membuat Surat Perintah Kerja dan Nota Dinas palsu seolah-olah ada pekerjaan pengangkatan kabel di wilayah STO Gedangan, Gempol, dan Beji.

Hendy menyanggupi permintaan itu dengan imbalan 30 persen dari hasil pencurian. Dokumen palsu tersebut kemudian digunakan untuk merekrut terdakwa III, Abd. Muntholib, dan saksi Machfud Johan Efendi. Meskipun mengetahui bahwa dokumen itu tidak sah dan tak ditandatangani pejabat Telkom, mereka tetap melanjutkan aksi pencurian.

Pada 9 Mei 2024, komplotan ini bersama 12 orang lainnya menggali dan memotong kabel dengan menggunakan dua mobil Mitsubishi L-300 dan sejumlah alat berat seperti cangkul, linggis, dan gergaji besi. Kabel hasil curian dijual ke pasangan suami istri Toyibin dan Isamiyah melalui perantara Imam Basori dengan total transaksi mencapai Rp120 juta.

Zeth Bara memperoleh bagian sebesar Rp36,25 juta, Hendy Rp35 juta, Muntholib Rp11,87 juta, dan saksi Machfud Johan Efendi Rp5,75 juta. Namun aksi mereka berakhir ketika pada 14 Mei 2024 malam dipergoki oleh petugas Polresta Sidoarjo. Ketiganya ditangkap dan kini telah divonis bersalah oleh Majelis Hakim PN Sidoarjo dengan pidana penjara masing-masing selama 8 bulan.

Namun, di balik vonis itu, muncul sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan. Dari total pelaku, hanya tiga orang yang dijadikan terdakwa. Padahal, jelas disebut bahwa pasangan Toyibin dan Isamiyah membeli kabel curian senilai ratusan juta rupiah. Imam Basori yang menjadi perantara pun tidak dijerat hukum. Ketiganya hanya berstatus saksi.

Selain itu, Hendy Priyatama yang diduga kuat membuat dan menggunakan dokumen palsu untuk memuluskan pencurian, seharusnya bisa dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Namun, penyidik hanya mengenakan pasal pencurian secara bersekutu terhadapnya.

Tidak hanya itu, seorang narasumber kepada Timurpos.co.id. Menyebut adanya dugaan barang bukti berupa loketer yang raib selama proses penyidikan. Dugaan penghilangan barang bukti ini memperkuat kecurigaan publik terhadap integritas penyidikan.

Anton salah satu penyidik menepis barang bukti hilang, “ada mas, masih disimpan di Kantor,” ungkapnya.

Praktisi hukum yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa penyidikan yang tidak tuntas dan tidak transparan akan mencederai rasa keadilan masyarakat.

“Barang bukti adalah kunci dalam pembuktian di pengadilan. Jika ada yang sengaja disembunyikan atau dihilangkan, ini pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan,” tegasnya.

Meningkatnya perhatian publik dan desakan dari praktisi hukum mendorong perlunya evaluasi menyeluruh terhadap penanganan kasus ini. Pengawas internal Polri dan Kejaksaan diminta turun tangan memastikan tidak ada oknum penyidik yang bermain dalam perkara ini.

Kasus ini menjadi cermin penting bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum harus dijaga, agar kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum tidak luntur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *