Surabaya – Metroliputan7.com.–
Wacana penganugerahan gelar pahlawan kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai pro-kontra. BEM Nusantara Jawa Timur (Jatim) mengajak masyarakat bersikap objektif dan proporsional dalam menilai sejarah bangsa.
Koordinator Daerah BEM Nusantara Jawa Timur (Jatim) Helvin Rosiyanda Putra, menyampaikan bahwa perdebatan seputar sosok Soeharto harus disikapi secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi kekurangan atau kontroversinya semata.
“Kita harus melihat sejarah secara utuh. Tidak ada tokoh yang tanpa cela, termasuk Bung Karno maupun Pak Harto. Tapi bangsa ini tidak akan pernah maju jika terus terjebak pada runcingnya perdebatan yang tak selesai-selesai,” ujar Helvin di Surabaya, 6 Juni 2025.
Helvin menilai, Soeharto punya kontribusi besar dalam membangun fondasi ekonomi Indonesia, terutama melalui stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.
“Stabilisasi harga, pembangunan infrastruktur, swasembada pangan, hingga pertumbuhan ekonomi di masa orde baru bukan hal yang bisa dihapus begitu saja dari sejarah. Jutaan rakyat Indonesia merasakan dampaknya,” jelasnya.
Soal adanya resistensi yang bersifat ideologis terhadap gelar pahlawan Soeharto, Helvin menilai perlu bercermin ke baiknya hubungan Presiden RI Prabowo Subianto yang jadi menantu Soeharto dengan putri Bung Karno yang juga Ketum PDIP, Megawati Soekarno Putri.
Selain itu, Titiek Soeharto dengan Puan Maharani yang merupaka cucu Bung Karno, tampak terlihat akrab di berbagai momen.
“Kita sudah tahu bagaimana kedekatan Megawati dengan Presiden Prabowo. Puan Maharani sama Titiek juga kelihatan akrab, nyanyi bareng, masak orang-orang yang merasa ideologis nggak bisa nerima itu. Jangan lebih Soekarno daripada Soekarno itu sendiri,” tegasnya.
Pria yang juga aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini menilai, gelar pahlawan bukan berarti membenarkan semua kebijakan di masa lalu, tetapi menjadi bentuk penghargaan terhadap kontribusi besar seorang tokoh bagi negara.
Untuk itu, BEM Nusantara Jatim mengajak seluruh masyarakat, terutama generasi muda, untuk bersikap rasional dan menjunjung semangat persatuan. Terlebih Indonesia kini tengah menghadapi besarnya tantangan global.
“Mari kita belajar berdamai dengan sejarah dan melihat setiap tokoh secara adil. Diskursus kebangsaan harus dibangun dengan akal sehat, bukan dendam ideologis,” tutup Helvin.