Sidoarjo — Metroliputan7.com.- Kamis, (18/8/2022). Penelusuran yang dilakukan budayawan Sidoarjo M. Wildan bersama dengan timnya akhirnya menemui titik terang. Mereka adalah utusan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor yang diberi tugas menggali sejarah-sejarah kota Delta. Salah satunya adalah menelusuri jejak Sarip Tambakoso, tokoh legenda masyarakat Sidoarjo dan Jawa Timur.
Berbekal dokumen pemberitaan berbahasa Belanda yang diterbitkan tahun 1912 akhirnya jejak Sarip Tambakoso bisa terlacak. Dari bekal media kolonial itu, jejak jasad Sarip dimakamkan mengarah pada makam yang lokasinya berada tidak jauh dari Alun-alun Sidoarjo. Sarip dimakamkan di TPU Kwadengan Kelurahan Lemah Putro, Kecamatan Sidoarjo.
Tanpa dokumen itu, nama Sarip hanya menjadi legenda dan cerita rakyat saja. Padahal, sosok Sarip benar adanya. Sosok robin hood itu dikagumi masyarakat Jawa Timur khususnya Sidoarjo. Ia dianggap simbol perlawanan pribumi terhadap kesewenang-wenangan pemerintah kolonial.
Pada dokumen media bertuliskan bahasa Belanda yang diterbitkan Februari dan Maret 1912. Serdadu kolonial mengepung tempat Sarip bersembunyi. Informasi persembunyian Sarip diperoleh Belanda dari mata-mata yang sudah lama ditugaskan mematai-matai Sarip, termasuk membocorkan pengapesan kekuatan Sarip. Saat itu Sarip berada di rumah saudaranya, bernama Ma’ruf di Desa Tambakrejo, Kecamatan Waru. Tak butuh waktu lama, Polisi Belanda kemudian bergerak cepat mengepung rumah Ma’ruf. Belasan polisi dilengkapi senjata laras panjang sudah mengepung rumah Ma’ruf dari berbagai penjuru.
Operasi itu membuahkan hasil. Peluru terbuat dari emas dan perak berhasil bersarang ke dada Sarip. Sarip pun ambruk. Polisi dan pejabat belanda yang datang saat itu ikut memastikan nyawa Sarip tewas. Peristiwa itu terjadi siang hari sekitar pukul 11.00 Wib pada 30 Januari 1912 seperti yang tertulis pada media berbahasa Belanda.
Untuk meyakinkan pemerintah kolonial. Jasad Sarip selanjutnya di bawah ke kadipaten agar disaksikan pejabat pemerintah kolonial. Setelah semua yang hadir saat itu yakin bahwa Sarip sudah meninggal, akhirnya kabar itu tersiar dan ramai menjadi perbincangan masyarakat sekitar kadipaten.
Purwandi, (65) Warga Kwadengan menuturkan, nama Sarip tidak asing bagi warga Kwadengan, Kelurahan Lemah Putro. Ia mendapat cerita tentang Sarip dari turun temurun, dari ayah dan kakeknya.
Dulu, di tahun 1900 an diceritakan kalau Sarip dulu sering ke Pasar Sidoarjo. Lokasinya di kawasan Kelurahan Kauman.
Karena keberaniannya melawan belanda, akhirnya Sarip jadi buruan. “Warga sini yang hidupnya era kakek saya mesti mengetahui cerita tentang Sarip ini. Bahkan saya dipeseni kalau ke makam Kewadengan jangan main dekat Gundukan. Karena itu makamnya Sarip. Letaknya di bawah pohon Ulin,” kata Purwandi.
Cerita itu dikuatkan warga Kwadengan lainnya. Namanya Didik, seorang pensiunan guru sejarah yang kini usia 60 tahun lebih, teman se kampung sama Purwandi. Bahkan menurut penuturan Didik. Saat itu ia masih remaja mendapatkan cerita dari ayah dan kakeknya.
“Cerita yang saya dapat dari Mbah, kalau tidak salah waktunya sore hari, di luar ada suara bunyi “Nung-Nung”. Bunyi itu berasal dari kenongan yang dibunyikan seseorang yang berada dalam satu rombongan, mereka jalan di depan rumah ini. Oleh mbah kemudian dilihatnya rombongan itu menuju ke makam Kwadengan. Yang ikut dalam rombongan ke pemakaman itu lebih banyak orang luar, bukan orang kampung Kwadengan,” tutur Didik.
Bahkan masyarakat Kwadengan, lanjut Didik, “tidak ada yang berani keluar. Karena, mereka diberitahu kalau yang dimakamkan di makam Kwadengan adalah jenazah Sarip Tambakoso. Nama Sarip memang sudah tidak asing bagi warga Lemah Putro,”.
Sementara itu, Wildan yang juga menjabat Plt. Kepala Bidang Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo Sidoarjo itu mengaku, untuk menelusuri jejak makam Sarip tidaklah mudah. Bahkan, masyarakat Desa Tambaksumur dan Tambakrejo tidak ada yang mengetahui sama sekali jejak makam tokoh yang mirip Brandaloka Jaya itu. Warga dikedua desa hanya saja meyakini kalau keluarga dan keturunan Sarip masih ada.
“Sempat kita mewawancarai, namanya Pak Kosim warga Desa Tambakrejo. Rumahnya tidak jauh kantor Balai Desa Tambakrejo. Yang diketahui Pak Kosim, sebatas tanah yang dulu pernah menjadi tempat tinggal Sarip dan Mboknya. Peninggalan lainnya, yakni keberadaan makam Mbok Sarip. Kosim sempat memperlihatkan letak makam Mbok Sarip yang berada satu komplek dengan makam tokoh ulama Desa Tambak Sumur, yakni makam Mbah Zaenal Abidin dan makam Mas Baedah,” terang alumni Filsafat UGM Yogyakarta itu.
Lanjut Wildan, makam ditunjukkan Kosim merupakan makam keluarga Mas baedah yang diyakini merupakan keturunan Sunan Gunung Jati dari jalur Sayyid Sulaiman Betek Mojoagung, Jombang. Makam ini sempat menjadi makam umum bagi warga sekitar kemudian sekarang dijadikan tempat wisata religi.
“Dari penelurusan dengan Pak Kosim, kami masih menemui jalan buntu. Hingga akhirnya kita menemukan dokumen media cetak berbahasa Belanda tahun 1912. Sempat kita minta bantuan translater bahasa Belanda untuk membantu menerjemahkan,” ujarnya.
Dari sana kemudian, Wildan menelusuri makam di dekat Alun-alun Sidoarjo. Penelusuran dengan petunjuk makam umum dengan usia tua. Hingga kemudian Wildan dan timnya mendengar kabar ada batu nisan bertuliskan Sarip Tambakoso, letaknya di pemakaman umum TPU Kwadengan. Informasi itu kemudian mereka telusuri, antara yakin dan ragu, karena batu nisan itu terlihat masih baru dan terbuat adari marmer motif kotak sederhana.
“Untuk memastikan apakah dibawah batu nisan itu ada jasad Sarip, kemudian kita telusuri dengan menemui tokoh sepuh di Kwadengan. Tujuannya memastikan apakah makam Sarip yang ada batu nisan tadi,” terang Wildan yang juga memiliki hobi koleksi pusaka tua warisan nusantara.
Dari penelusuran itu kemudian mereka bertemu dengan Purwandi dan Didik, keduanya warga asli Kwadengan yang usianya terbilang sepuh. Dari hasil wawancara dengan kedua tokoh sepuh itu, akhirnya terkuak bahwa di bawah batu nisan bertuliskan makam Sarip itu bukanlah jasad Sarip melainkan kendi yang berisi tanah yang diambil dari Desa Tambakoso.
Fakta itu diperoleh dari Didik. Didik menceritakan kalau dirinya yang mengambil tanah dengan temannya sesasama pegiat budaya dan sejarah yang kini tinggal di Pemandian Jolotundo, Trawas Mojokerto. Hal itu dilakukan untuk mengenang perjuangan Sarip yang dinilai memberikan semangat perjuangan bagi pribumi.
Yang kemudian menjadi penemuan penting dalam melacak jejak makam Sarip saat Didik menceritakan bahwa dulu saat masih remaja ia mendapat cerita dari bapak dan mbahnya, kalau Jasad Sarip dimakamkan di makam umum Kwadengan. Cerita ini sesuai dengan yang diceritakan Pak Purwandi. Kemudian diperkuat dengan dokumen media berbahasa Belanda yang menuliskan bahwa Sarip setelah ditembak mati kemudian jasadnya dibawa ke kadipaten untuk dihadapkan kepada pemerintah kolonial saat itu.
“Makam Kwadengan termasuk makam tua. Sebelum Taman Makam Pahlawan dibangun,tempat ini menjadi tempat pemakaman umum. Bahkan menurut cerita Pak Purwandi, banyak makam pahlawan yang dipindah ke TMP yang sekarang ini,” jelas Wildan.
Wildan juga tidak menutup informasi, bila saja masyarakat memiliki informasi pembanding dan temuan baru pihaknya dengan senang hati akan menelusuri. Karena pencarian jejak makam Sarip ini menurut Wildan untuk kepentingan bersama, kepentingan warga Sidoarjo.
“Sarip sebagai simbol keberanian orang pribumi melawan kesewenang-wenangan kolonial,” pungkasnya.