Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita

Meramadhankan “Diri” dengan Mencintai Keramahan Sisa Makanan Kita

805
×

Meramadhankan “Diri” dengan Mencintai Keramahan Sisa Makanan Kita

Share this article
Example 468x60

 

Example 300x600

Oleh: Ach. Fawaid As’ad

Dosen Akuntansi Universitas Trunojoyo Madura dan Pengajar di Pondok Pesantren Tebu Falah

Bangkalan, Metroliputan7.com.–

Momen bulan ramadhan terkadang sebagai perubahan pola makan sehari-hari. Bahkan, menjadi pelampiasan euforia makan di kala berbuka puasa. Bulan yang penuh berkah dan rahmat, dijadikan sebagai momen yang penuh kebahagian bersama. Budaya ngebuburit, kesadaran komunal masyarakat muslim di Indonesia yang dirayakan secara bersama sama dengan keluarga, sahabat, teman kerja, bahkan pacar. Terkadang ada juga yang bagi bagi takjil di masjid-masjid, pondok pesantren, yayasan anak yatim, bahkan jalanan. Keseruannya kala sore hari menyambut bukah puasa melebihi proses perjalanan puasa di kala siang terik panas, letih, dan mendahaga. Rasanya harus “balas dendam” pada perut yang sedang kelaparan. Air ditenguk menghilangkan haus disepanjang kerongkongan, yang terkadang kelupaan harus makan akhirnya menjadi kekenyangan. Ada yang juga bijak makannya, minum seteguk air, makan kurma 3 biji, lalu sholat maghrib dan baru makan nasi dengan hidang lauk di piringnya. Namun ada yang lupa, sering kali mereka banyak menyisakan makanan yang penuh makna berkah dan rahmat. Mereka kelupaan rahimnya terhadap makanan yang seharusnya menjadi ladang pertanggungjawaban kita atas amanah di bulan ramadhan ini.

Hidangan makanan pada sahur dan bukah puasa bukanlah sampah yang seenaknya dibuang dan tidak bijak. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Ketuhanan, menunjukan timbulan sisa makanan dan sampah plastik naik menjadi 20% pada bulan puasa, dengan dikeluarkannya SP.120/HUMAS/PPIP/HMS.3/4/2023 pada tahun lalu. Pemerintah itu tugasnya bukan memberikan ajakan mengadopsi pola gaya hidup ramah lingkungan, namun hal ini tanggung jawab guru dan penggiat lingkungan. Pemerintah memiliki tanggung jawab jaminan atas kesejahteraan masyarakatnya dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Masyarakat Indonesia pada bulan di luar bulan ramadhan cukup menderita menjalani hidup sehari-hari, apalagi masyarakat miskin kota yang terluntang lantung demi sesuap nasi. Pas pada bulan Ramadhan banyak sekali makanan sedekah dari berbagai kalangan orang kaya, relawan, dan lembaga sosial lainnya yang ikut memeriahkan. Masyarakat miskin penuh euforia pada makanan sedekah sehingga kelupaan atas tanggung jawab dirinya terhadap makanan yang seharusnya penuh berkah itu. Apa iya bulan puasa yang penuh dengan maghfirah dan segudang pahala, membiarkan masyarakat miskin tetap miskin semiskin-miskinnya di luar bulan Ramadhan?.

Pengamatan secara etnografi, gaya hidup menyisakan makanan dan penggunaan sampah plastik yang berlebihan disebabkan karena adanya kesenjangan hidup. Orang kaya justru lebih terhormat karena ada yang membersihkan dan membereskan sampah di rumahnya. Bungkus plastik hitam di depan rumahnya terkadang menjadi harapan masyarakat miskin yang terbuang. Bahkan, pelayan restoran dengan ramah dan membungkukan badannya ngelap sisa makanan yang terhidang mewah menjadi sisa di atas meja. Orang kaya kurang sudih makan makanan yang dihidangkan masyarakat miskin dari dapur yang kumuh dan lalap kehitaman. Apakah orang kaya akan juga sudih minum seteguk air dari gelas yang compang camping itu? Bahkan, menginjakan kaki di depan rumahnya terkadang masih melalui relawan untuk mengantarkannya. Kapan ada ruang dan waktu untuk saling bertemu dan berbalas kasih?.

Makanan yang penuh berkah di bulan Ramadha seharusnya tidak menjadi sisa. Ramadhan adalah bulan yang cukup untuk berbagi, cukup saling berbalas kasih, cukup berbuat baik, sebab karena kecukupan itulah bulan-bulan di luar Ramadhan seperti bulan Ramadhan. Mermadhankan “diri” sesungguhnya dilakukan setiap waktu yang saling beranyaman satu sama lain mengagungkan Allah subhanahuwata’al, Tuhan semesta alam. Allah menanamkan pustaka “penghambaan” sejak Nabi Adam as sampai melalui “Muhammad” kekasih yang dicintainya, ternyata tak cukup mermadhankan diri manusia itu sendiri. Pustakan itu sudah ditanamkan sejak adanya agama samawi melalui kitab Taurat, Zabur, Injil, dan Al Quran. Namun, hal kecil seperti menjalankan amanah tanggung jawab atas rejeki sehidang makanan dan sesuap nasi, manusia lalai untuk mensyukurinya. Pustaka “Penghambaan” dan “syukur” oleh manusia menjadi salah dan luput memaknainya, oleh karenanya dirinya lupa jikalau berlumuran dosa.
Bangkalan, 14 Maret 2023.

Buya Dr. Mohamad Djasuli,(Pengasuh PPM Tebu Falah Telang Kamal)

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

atesimsicasibom girişsms onayCasibom GirişcasibomcasibomcasibomCasibom Girişcasibom girişcasibom casibom girişsms onayCasibom GirişcasibomCasibom Girişcasibom giriş